KARTINIKU TELAH TIADA

KARTINIKU TELAH TIADA

Penulis: Gracia Ellen; Ilustrator: M. Ali Fikri S.Z.; Editor: Dianita RSNAFB

Nama ku Suci Azahan. aku dibesarkan disini, di desa Kumangsari kecamatan banyurejo, desaku sangat tak terkenal karena memang terletak di pelosok Magelang. Aku berumur 10 tahun murid di sekolah SDN kumangsari, aku bukan anak yang mampu, aku di besarkan oleh kakek dan nenekku dirumah tua yang kadang terlihat akan roboh jika terkena hujan angin. Aku tak mempunyai orang tua, nenek dan kakek bilang mereka membuangku karena hubungan gelap, jadi harta yang paling berharga yang aku punya adalah kakek dan nenek. Perkenalkan nama kakek ku Ahmad Mauqif dan nenek tercintaku bernama Surtika kusuma.

Menurutku wanita terbaik dalam hidupku adalah nenek, ia adalah sesosok wanita yang tegar dan tenang dalam melalui hidupnya meski berjuta masalah yang datang sebesar palu bogem. Cobaan yang datang dalam hidupnya sangat besar mulai dari Kakekku yang kaki kanannya tiba-tiba lumpuH dan tak mempunyai tangan di sebelah kiri dari sejak kecil. Sehingga untuk menghidupiku, nenekku bekerja untuk segala kebutuhan sehari hari dirumah kami. Kakek hanya bekerja jika ada yang memintanya bekerja, jika tidak ia dirumah. Nenek bekerja sebagai pencari kayu hutan lalu dijual atau di buat masak sendiri. Selain itu ia juga bekerja diladang pak Lurah yang hanya sekedar dititipkan untuk diurus oleh nenekku. Aku paling setia mengikutinya ketika sedang bekerja.

Nenekku sudah sangat tua, tubuhnya sudah membungkuk dan tak jarang ia batuk-batuk. Ia slalu menyeka keringat di dahinya dengan ‘sewek’ di pinggulnya sambil tersenyum kepadaku dengan berkata “tak apa nduk, nenek kuat kok”. Rasanya mengingat semua itu membuat dadaku sangat terpukul, Terkadang air mata ku menetes saat aku melihat tubuh kurus dengan punggung bungkuknya memikul kayu dari hutan untuk dibawah ke rumah. Semangat dalam diriku sElalu muncul setiap aku mengingat segala perjuangannya untuk hidup ini. “Andai aku sudah besar saat ini, aku akan membahagiakan dirinya, menghabiskan keringat dan darahku. “Aku akan membahagiakannya aku berjanji” curhatku kepada sang kholiq.


Siang ini jam sudah menunjukan pukul 11:00, aku dan teman-temanku melewati jalan curam ada jurang yang terjal disamping kiri. Sangat berbahaya, tapi ini belum seberapa perjalanan pulang sekolah yang aku tempuh dari sekolah ke rumah kira-kira 2 Km., dan ini jalan satu-satunya. Terkadang aku dan temanku terhalang oleh banyak pohon yang tumbang di sepanjang jalan akibat hujan angin, seperti saat ini tergeletak di depan kami. Sebuah pohon pinus tumbang lagi, kami memutuskan untuk beristirahat sebentar. Silvi teman sebangku ku mengawali pembicaraan

“gimana ini suc…? Kakimu masih sakit?”, “Bentar ya kita berhenti aja dulu, gak seberapa sakit kok” jawabku.

Kering di peluhku sudah sangat banyak hingga sebagian kerudungku ikut basah, siang ini begitu panas, kakiku hampir lecet akibat sepatu yang tak kupakai. Aku khawatir sepatu pembelian nenekku rusak akibat jalan yang tidak bagus. Jadi, sepatuku hanya kupakai ketika sampai di sekolah.

“Itu nenek”

kulihat nenek menuju kami dengan berjalan agak membungkuk serta membawa sebuah air minum dan plastik kresek yang ia bawa di tangan kirinya, ia tak memakai alas kaki dan hanya memakai baju tipis lengan panjang yang berkain kebaya serta kain sewek yang dibelitkan sampai diatas mata kakinya saja. nenek melihatku sambil tersenyum dan ia duduk disamping ku.

“Nek kenapa kesini? ini masih gerismis nek.” tanyaku sambil memegang tangannya 

“Tidak apa apa nduk. Tadi Pak Slamet bilang ada pohon yang tumbang, makanya nenek langsung kesini sekalian ngajak kamu ke pasar. Tapi makanlah ini dulu ya” kata nenek sambil memberiku masi bungkus.

“Ini untuk kamu Silvi, nenek tadi sudah bilang ke ibumu untuk menjemputmu disini.” ucap nenek seraya memberikan nasi bungkus juga.

“Iya nek terima kasih” jawab silvi

Tak lama kemudian, Ibu silvi tiba. mereka pamit untuk pergi lebih dulu meninggalkan aku dan nenek. Sementara aku dan nenek akan melanjutkan perjalanan menuju pasar tradisional. Selama perjalanan tersebut aku berusaha menahan sakit kakiku demi nenek yang ingin membahagiakanku.

“Nenek, sekarang bukannya tanggal 20 april?” tanya ku kepadanya

“Iya nduk sekarang, memang nya kenapa” jawab nenekku.

“Besok adalah hari kartini nek, bisakah nenek menceritakan mengapa Indonesia sangat menghormati hari itu, bahkan merayakanya dengan upacara? ” tanya ku dengan wajah ingin tau.

“Oh begini, kartini adalah lambang ibu negara yang membangkit kan semua kaum wanita di Indonesia agar menjadi wanita yang kuat dan tegar. ia mEmbuktikan kepada semuanya bahwa kaum wanita tidak lemah. Sifatnya yang selalu merakyat, baik perbuatan dan ahlaknya, serta kerja kerasnya untuk wanita Indonesia patut untuk diberikan penghormatan. ia adalah wanita yang merubah pandangan para wanita diindonesia, maka dari itu akan lebih baik jika kita para wanita bisa meneladani dan juga mengamalkan segala sifat yang dicontoh oleh ibu kartini, begitu nduk!” penjelasan nenekku

“Oh iya nek, berarti nenek juga mencotoh sifat ibu kartini” tanyaku lagi sambil tersenyum dan memeluk erat nenek.

“Hahaha ibu kartini adalah idola bagi semua wanita, termasuk nenek. Kamu nanti harus jadi wanita yang kuat dan tegar, meski tak ada nenek.” kata nenekku

“Oh, iya Nek, besok di sekolah ada acara untuk memperingati hari kartini. Temanya ‘Ibulah kartiniku’ dan semua murid harus mengajak ibu mereka untuk dijadikan kartini, aku tak apakan jika memgajak nenek?” Tanya ku pada nenek.

“Tidak apa-apa nduk, tapi nenek sudah tua dan nenek tidak punya baju yang bagus. apa kamu tidak malu? ” Tanya nenekku

“Nggak nek, kemapa harus malu ibu kartini dulu juga pasti ibu yang sangat sederhana dan tidak memikirkan yang seperti itu bukan!?” 

“Kamu benar nduk, baiklah nenek akan mengikuti acara besok” jawab nenek dengan penuh semangat  

Besok nenek cukup menyebrang di jalan ini, dan masuk lewat gerbang yang depan itu?!” kataku sambil menunjuk sekolahku dari kejauhan.


Hari ini nenek belanja cukup banyak untuk memenuhi keperluan selama seminggu. Selain itu beberapa barang merupakan titipan tetangga. Nenek membawa dua keranjang plastik berisi Bayam, kangkung, beberapa bumbu seperti laos, jahe, dll juga sawi, lengkuas, serta sayuran lainya. Aku menawarkan untuk membawa keranjangnya, tapi nenek menolak. Aku tetap memaksa sampai nenek menyerah dan bersedia untuk kubawakan salah satu keranjang belanjaannya. Kami pun bergegas pulang karena langit terlihat mendung.


Malam ini hujan turun lebat, lampu padam, kerasnya suara guntur dan silauan petir yang tajam membuatku takut. Aku menghampiri nenek di kamarnya yang sedang beristirahat. Aku pun mengajak nenek untuk sholat isyak berjamaah dengan kakek. Setelah sholat aku pun melanjutkan mengerjakan tugas sekolah untuk perayaan besok. Sementara itu nenek pergi ke dapur untuk membuatkanku makanan sebagai teman mengerjakan tugas. Tentu saja situasi masih dalam kedaan gelap, untung ada lilin yang menerangi rumah kami.

“Suci… Besok hari kartini kamu sekolah apa libur nduk? ” tanyak kakek kepadaku.

“Tidak kek, ini suci sedang membuat kartu yang bertulisan PUTRI SEJATI untuk dipakai nenek besok di sekolah untuk merayakan hari kartini” kata ku pada kakek

“Oh jadi besok nenekmu ke sekolah” “Iya kek,..

“Iya kek.” jawab Suci dengan menganggukkan kepala.

Malam sudah semakin larut, lampu masih mati dan hujan semakin deras. Usai mengerjakan tugas, aku langsung tidur di kamarku. Sementara nenek tidur dengan kakek di kamar belakangku. Entah ada apa, aku merasa sulit tidur, hatiku resah dan gundah.

“Tok,tok, tok, kakek, nenek…. Suci tidak bisa tidur” aku sengaja mengetuk pintu kamar nenek

“Kek, aku tidur dengan nenek boleh” tanyaku langsung setelah kakek membukakan pintu kamardengan dengan membawa guling kesayanganku. 

“Ah iya iya sana, tidurlah disamping nenekmu” jawab kakekku dengm beranjak pergi menuju kamarku.

Aku tidur dengan memeluk nenek dari samping. “Nek, aku tak sabar untuk menempelkan kartu putri sejati kepada nenek”

“Iya nduk besok pagi ya, sekarang kamu tidur dulu, nenek juga udah nyiapin baju kebaya yang paling bagus. pesan nenek, bahagikanlah orang orang disekiar mu dan bantulah setiap orang tanpa pilih-pilih. Jadi orang yang bisa diandalkan, dapat bermanfaat bagi masyarakat dan patuh kepada orang tua, teladani sifat yang bagus dalam diri nenek dan ibu kartini.” jawab nenek. Setelah itu kami pun tertidur sampai adzan subuh berkumandang.


Aku berangkat ke sekolah lebih dulu dibanding kan nenek. Aku harus sampai sekolah pada pukul 07:00 karena harus dirias oleh ibu guru. Sementara undangan untuk nenek jam 07:30. Sebelum berangkat aku sempat melihat nenekku sekilas, ia sedang menyiapkan kebaya, kerudung, tas dan sandalnya. Sesekali nenekku bercermin sembari menempelkan kebaya di tubuhnya. Kebaya berwarna kuning pucat, dengan manik-manik yang menghiasi di tepi lengan dengan sewek yang digulung sederhana dan kerudung berwarna cream pucat sudah terbayang di benakku. Nenekku pasti cantik.

Aku berpamitan kepada kakek dan nenek lalu berangat ke sekolah bersama teman-teman dengan memakai pakaian seragam merah putih. Di sekolah setelah semua siswa dirias sederhana. semua teman-temanku sudah duduk bersama ibu mereka di halaman sekolah. Sementara nenekku belum datang juga, rasa khawatir mulai merambah ke hatiku dan membuat tanganku dingin.

“Suci, nenekmu belum datang?” tanya salah satu temanku

“Belum” aku hanya menggelengkan kepala. Aku was-was, acara sudah dimulai tapi nenek belum juga terlihat batang hidungnya.

“Semua diharap berdiri untuk menyanyikan lagu Ibu kita kartini” tanda acara dimulai oleh MC.

“Bruuuuaakkkhhh….” seperti suara benda yang bertabrakan hebat dari jalan raya. Suara ini menyebabkan gaduh diantara semua peserta perayaan hari kartini.

Aku memutuskan keluar gerbang sekolah setelah mendengar suara itu. Aku berlari menuju jalan raya berharap ada wawah nenekku. Tapi aku hanya melihat kerumuman dan sepeda motor yang tergeletak di pinggir jalan. Aku mendatangi kerumunan itu, melewati tubuh beberapa orang. Tak kusangka, aku melihat nenekku tergeletak penuh lumuran darah menutupi paras cantiknya. Mulutku terkunci rapat tak bisa berteriak, sementara mataku meneteskan air mata tanpa henti.

Aku terduduk lemas melihat nenekku saat ini yang sudah tak bergerak sama sekali hingga terdengar suara alunan lagu ibu kita kartini dari sekolahku, “Ibu kita kartini,… PUTRI SEJATI….” Saat itu juga aku langsung memeluk nenek ku ini dengan menempelkan kartu PUTRI SEJATI yang kubuat tadi malam. Dengan tangisan yang sangat keras, aku berteriak

“NENEKKK…” Panggilku berkali-kali sambil mencoba menggoyangkan tubuhnya, berharap ia bisa bangun dari semua ini. Namun segalanya sudah berakhir dan kini KARTINIKU TELAH TIADA, nenek sudah meninggalkan dunia. AKU MENCINTAIMU KARTINIKU. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *