Hutan Beton Itu…

Deru mesin kian memekakkan telinga seiring ku berjalan menyusuri jalan itu. Jalan yang nampak seperti lorong suram, yang tak hentinya menyuguhkan bunyi-bunyian yang tak kukenali. Entah itu bunyi peralatan yang sedang mengudeta pohon-pohon yang berdiri kokoh di tempatnya, atau mungkin bunyi mesin bubut yang dengan tekun menggilas pohon-pohon itu tanpa ampun. 

Kota Seoul memang dikelilingi oleh pegunungan, salah satunya adalah tempat yang aku tinggali, yakni Irwa Village yang terletak di Daehangno, Thwa-dong, distrik Jongno-gu, Seoul. Kawasan ini sempat diberi julukan Dangdolnae atau Moon Village yang berarti pemukiman miskin karena letaknya berada di lereng gunung sehingga menurut penduduk lainnya, tempat ini terlihat lebih dekat dengan bulan, 

Kawasan sekitar Ihwa dipenuhi dengan tangga-tangga kecil yang curam dan tinggi yang menghubungkan jalan utama dengan gang-gang kecil yang dikelilingi rumah-rumah tua penduduk. Tak pelak, daerah Ihwa nampak seperti pemukiman kumuh karena beberapa gedung dan rumah penduduk yang terletak bersebelahan, hanya sedikit meninggalkan jarak diantaranya. Namun, julukan “Pemukiman Miskin” telah hilang jauh sebelum aku tinggal di sini. Karena 

pada tahun 2006 lalu, pemerintah melakukan revitalisasi kota Seoul dimana sejumlah seniman dan penduduk setempat melukis kawasan Ihwa dan merombaknya menjadi tempat yang lebih menarik Pandangan orang luar tentang tempat ini pun mulai berubah. Kesan unik, klasik, retro, dan artistik kini melekat di kawasan Ihwa. Tak hanya itu, tempat ini menjadi kian apik tatkala lukisan lukisan tergambar di dinding rumah para penduduk. Bahkan tangga pun dilukis sedemikian rupa dengan gambar yang menarik. Itu bertujuan untuk menghilangkan rasa lelah saat berjalan menaiki tangga.

 Di negeri yang asing ini, aku hanya seorang perantau yang berusaha mengikuti alur kehidupan, Kemauanku untuk bisa berkuliah di Seoul National University akhirnya mampu menerbangkanku dari tanah kelahiranku, Indonesia, untuk meneruskan pendidikanku. Dan akhirnya, aku bisa menapakkan kakiku di Korea Selatan untuk bisa belajar dan bekerja di sini. 

Aku memilih tinggal di Irwa sejak aku berada di semester 4 program studiku. Tepatnya tahun 2015. 2 tahun setelah aku pertama kali menginjakkan kakiku di Seoul. Di tahun 2013 lalu, aku tinggal di distrik Yongsan-gu. Namun, karena letaknya jauh dari kampus, aku memilih pindah ke kawasan Ihwa. Selain letaknya yang dekat dengan kampus, kawasan Ihwa juga dekat dengan tempatku magang sebagai seorang konsultan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penjualan tanah 

Di tempatku bekerja, aku bertugas bernegosiasi dan melakukan konsultasi dengan orang orang yang ingin membeli tanah di sekitar tempatku tinggal untuk kemudian dijadikan rumah atau apartemen. Sebagai konsultan, aku harus mampu meyakinkan klien ku untuk membeli tanah lewat jasa yang disediakan oleh perusahaan kami. Walaupun aku tahu pasti, jika mereka membeli tanah di sini, mereka harus menebangi pohon-pohon terlebih dahulu agar gedung mereka bisa berdiri 

Aku bekerja tanpa memikirkan akibatnya jika kita terus-menerus menebang pohon di daerah ini. Aku hanya sekedar bekerja di sini karena upahnya cukup menjanjikan untuk membiayai kebutuhan kuliahku dan kelangsungan hidupku di Seoul. Aku telah pindah dari apartemenku dulu yang bisa dibilang cukup sempit. Sekarang, aku mampu menyewa sebuah rumah atap yang aku idamkan sejak dulu. Rumah atap yang lebih luas dari apartemenku dulu. 

Mentari masih enggan menampakkan suryanya. la masih mencoba menembus awan tebal di langit Seoul yang mendung di awal musim semi ini. Aku mulai berjalan pelan menyusuri tangga tangga curam di depanku. Sudah menjadi kebiasaanku di minggu pagi untuk berolahraga atau hanya sekedar berjalan-jalan di taman sekitar sungai Han yang dekat dengan tempat tinggalku. Rutinitas itu kulakukan untuk melepas penat setelah hari-hariku sebelumnya hanya kuhabiskan untuk bekerja dan kuliah.

Entah mengapa, suasana mendung saat ini mengingatkanku pada tanah kelahiranku, Indonesia. Sudah 5 tahun sejak keberangkatanku dari Indonesia menuju Seoul untuk meneruskan studiku, Selama itulah aku belum pernah pulang ke kampung halamanku di Jawa Timur. Aku hanya mampu bertukar kabar dengan orang tuaku lewat telpon genggam saja, terkadang jika aku sangat merindukan mereka, aku menghubungi mereka lewat video call. Hanya itulah yang dapat kulakukan untuk melepas rinduku pada keluargaku. 

Senyaman apapun tempat tinggalku sekarang, aku masih berpikir bahwa tanah kelahiranku adalah yang terbaik. Tempatku tumbuh besar di tanah ibu pertiwi yang asri. 

Dulu, aku sangat suka bermain di bawah pepohonan rindang di pelataran rumahku dengan teman-teman sebayaku. Namun kini, aku malah bekerja untuk melumat pohon-pohon yang tak bersalah itu. 

Walaupun secara harfiah aku tidak menebang pohon itu. Tetapi-secara tidak langsung aku sama saja dengan para pengusaha serakah dan juga penebang-penebang pohon itu. Karena konsultasi dariku, mereka mau membeli tanah di daerah ini. Alhasil, mereka harus meratakan hutan yang rindang, dan menggantikannya dengan hutan beton itu. 

Aku melepas jaketku dan melemparnya asal ke atas kasurku. Aku segera membersihkan diri, dan kembali menjalani rutinitasku yang lain di hari minggu. Setelah aku selesai membersihkan diri, aku bersiap-siap keluar untuk melakukan kerja bakti di lingkungan tempat tinggalku. Kegiatan kerja bakti ini dilakukan oleh setiap penduduk yang tinggal di kawasan Thwa, tak terkecuali aku. 

Aku berjalan menuruni tangga dengan langkah gontai. Kurasa aku terlalu lelah berkeliling sungai Han tadi pagi. Tapi aku tak boleh bermalas-malasan untuk melakukan kerja bakti. Karena aku sadar, kebersihan itu indah dan menyenangkan, apalagi aku ikut merasakannya. Namun, tiba-tiba aku tercenung di tengah pekerjaanku. Aku tak sadar telah memasuki tanah kosong yang asing bagiku. Tempat ini masih rindang dan asri. Aku mulai menyusuri tempat ini. Di sini, aku merasa berada di kampung halamanku, begitu sejuk dan menenangkan. Tempat ini nampak seperti tak pernah terjamah oleh sifat serakah serta tangan jahil manusia yang ingin meratakannya. 

Tiba-tiba, aku dihinggapi perasaan bersalah. Bagaimana bisa aku membiarkan pengusaha pengusaha itu meratakan tempat asri semacam ini. Membiarkan mereka membangun hutan beton yang berdiri dengan congkak di tengah semakin sedikitnya pohon-pohon yang tersisa. 

Aku tahu, ini bukan tanah tempatku dilahirkan. Tapi aku juga punya kewajiban untuk merawat dan menjaga tempatku tinggal. Aku harus mampu menjaga dan melestarikan alam untuk generasi selanjutnya. Apakah aku tega membiarkan hutan semakin berkurang dan habis di tempat ini? Entahlah, mungkin aku hanya tergiur akan uang semata, karena terdesak biaya hidup di tengah kota metropolitan seperti Seoul ini. 

Lama aku menghabiskan waktu di tempat ini untuk merenungkan perbuatanku. Setelah aku tersadar dari lamunanku, hari ternyata semakin gelap. Dan akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Saat aku berjalan pulang, pikiran tadi masih mengusikku. Sepanjang perjalanan pulang, tak hentinya aku memperhatikan alam di sekelilingku. Sesekali. aku mendongak ke atas langit dan menyadari sesuatu, “Ternyata, bintang di langit kota Seoul lebih indah jika dilihat dari kegelapan.” gumamku. Selama aku tinggal di rumah atap, tak sekalipun aku pernah melihat bintang yang bersinar sebanyak ini, meskipun aku melihatnya dari tempat yang tinggi. Yang kulihat hanyalah gedung-gedung ‘bercahaya’ yang berdiri dengan megah, menyembunyikan sinar dari bintang yang disuguhkan oleh langit malam. 

Di tengah renunganku, aku sempat bertanya pada sang malam, “Jika kita memang mampu merubah dunia ini, bagaimanakah caranya? Bisakah kita mengubah dunia ini menjadi dunia yang damai seperti dulu? Dunia yang sunyi dan tentram. Dunia yang jauh dari hingar-bingar perkotaan, Dunia yang terang karena pancaran bintang di langit malam. Bukan bersinar karena pancaran hutan beton yang tinggi menjulang.” 

Ku menanti jawaban dari sang malam. Namun tak kunjung ku dapatkan. Hanya deru mesin kendaraan yang kini berlalu-lalang memenuhi pendengaranku. Entahlah, mungkin sang malam terlampau lelah untuk sekedar menjawab pertanyaanku. Sang malam nampaknya enggan untuk sekedar menjawabku walau hanya lewat hembusan angin. Ia mungkin terlalu lelah menghadapi sifat serakah manusia yang tak pernah puas dengan apa yang di dapat. 

PROFIL

Namaku Riqza Aulia Ramadhanti, biasu dipanggil Riqza. Ada juga yang memanggilku dengan nama Aulia. Aku lahir di Mojokerto, 30 Desember 1999. Aku adalah anak sulung dari dua bersaudara. Usiaku sekarang 17 tahun. Aku adalah siswa kelas XI di MAN Mojosari. Aku mengambil jurusan Bahasa. Motivasiku mengambil jurusan Bahasa adalah untuk lebih mengenal dan memperdalam kemampuanku dalam berbahasa Indonesia maupun bahasa asing. 

Kemampuan berbahasaku memang belum terlalu mahir untuk menulis sebuah cerpen. Masih banyak yang perlu diperbaiki, dan aku masih perlu belajar lagi dalam menulis. Ini kedua kalinya aku menulis sebuah cerpen. Cerpen pertamaku, kubuat untuk menyelesaikan tugas dari guru bahasa Indonesiaku. Cerpen itu berjudul “Fangirl Problems”. Cerpen pertamaku itu sedikitnya menceritakan tentang keadaan seorang “Fangirl” yang mengidolakan sebuah Boy Grup asal Korea Selatan. 

Seperti judul cerpenku yang pertama, aku adalah seorang Fangirl yang cukup fanatik dalam mengidolakan artis Korea bahkan kebudayaan Korea. Namun, itu tak membuatku lupa dengan kebudayaanku sendiri. Aku harus mampu menyaringnya. Meninggalkan sisi negatif dari kebudayaan mereka, dan hanya mengambil sisi positif kebudayaan mereka saja. 

Jika kalian ingin mengenalku lebih dekat, sharing tentang bahasa, atau bahkan sharing tentang dunia per-Kpop-an, silakan follow akun Instagramku di @riqzaaulia, atau akun twitter ku di @riqzarama30. Hakuna Matata! And, Thank you 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *