Kapten Cupu dan Tim Keren

Kapten Cupu Dan Tim Keren

Penulis: Nur Isti Anan; Ilustrator: M. Ali Fikri S.Z.; Editor: Dianita RSNAFB

Pukul dua belas lewat dua puluh, tiga puluh tiga derajat celcius. Aku melihat lantai dasar yang sangat ramai, dipenuhi siswa dan guru yang lalu lalang meski cuaca cukup terik. Mataku terpanah pada Anya, seorang partner atau member tim Adiwiyata Madrasah. Dia dengan gesitnya melaksanakan tugas yang ku berikan.

“Kamu Ahmad?” Tanya Anya pada anak laki-laki yang duduk didepan kelasnya. 

“Iya Kak.” Jawabnya singkat. 

“Ini” Anya memberikan sebuah amplop coklat, “Selamat kamu berhasil masuk tim Adiwiyata Madrasah” Ucap Anya. 

“Dan kamu pasti Nico? Ini, selamat kamu juga berhasil masuk di tim Adiwiyata Madrasah.” Lanjutnya sambil memberikan amplop coklat kepada siswa yang duduk disamping Ahmad. 

“Wah terima kasih banyak ya kak.” Ucap Nico kegirangan. Sementara Ahmad masih belum percaya. 

“Lima menit lagi kalian harus berkumpul. Tempat dan apa yang harus dibawa sudah tertera di dalam amplop.” Ucap Anya tegas.  

“Baik Kak.” Ucap Nico. 

Smartphoneku berdering, tertera nama Anya dilayar. “Hallo, Anya?” Ucapku.                                           

“Semua undangan sudah aku berikan. Kau bersiap-siaplah!” Ucap Anya diseberang. 

“Ya.” Aku segera turun dari lantai dua dan bersiap menemui wajah baru timku. 

“Ya Ampun, Mad. Kau tahu siapa Karin calon kapten kita?” Ucap Nico, sambil berjalan menuju tempat yang sudah ditentukan. 

“Ya, tentu saja Aku tahu lah.” Ucap Ahmad heran. 

“Kenapa nggak Anya aja coba? Uda cantik, kulitnya putih, semampai, tubuhnyanya kayak gitar Spanyol lagi. Hahahaha… La ini, Si Karin, uda cupu, kemana-mana bawa buku lagi. Kayak orang jenius aja.” Ucap Nico ketus. 

“Gua kasih tahu ya Nico, kalau Anya lebih jenius, pasti yang di jadiin kapten itu Anya bukan Karin.” Ucap Alumad santai. 

“Ah, udalah. Terserah Lo aja deh bro.” 

“Selamat siang semua.” Sapaku pada mereka yang sudah berbaris rapi dihadapanku, 

“Siang” Jawab mereka semua hampir bersamaan.  “Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada kalian semua, karena kalian semua sudah berpartisipasi dalam menjaga lingkungan Madrasah lewat organisasi Adiwiyata ini.” Ucapan pembukaku, “Ohya, saya juga ucapkan selamat kepada kalian semua karena kalian sudah menjadi new member team Adiwiyata Madrasah.” Lanjutku. 

Suasana yang hening kemudian terpecah ketika seorang gadis di barisan pojok depan dengan santai mengucapkan. “Lalu?” 

Aku menatap lamat-lamat gadis itu, juga melihat semua member baru team, mereka tampak staylish dan sangat rapi. Tiba-tiba suara terdengar nyaring di telingaku “Kariiinnnn… Apa yang kau lakukan?” 

Oh tidak itu adalah suara Anya. Aku yang tadi sibuk mengamati hewan melatah akhirnya menyerah dan menoleh pada Anya.” Ada apa Nya?” Tanyaku singkat. 

“Kamu disini malah enak-enakan bengong. Bantu yang lain dong!” Ucapnya marah-marah. Anya akhirnya melihatku membawa hewan melata itu. “Itu… itu cacing kenapa?” Tanyanya. 

“Eh? Ini bukan cacing, Nya, ini harus dibunuh.” Ucapku panik. 

“Apa? Siniin cacingnya!” 

Anya berusaha merebut hewan melata tersebut dari tanganku, dan usaha Anya sia-sia ketika Aku menjatuhkan hewan melata tersebut dan menghantamnya dengan batu yang lumayan besar. Alhasil mungkin hewan itu mati. 

“Ha? Gila ya Lo? Psikopat ya Lo?” Ucap Anya padaku. 

“Itu bukan cacing!” Aku menjelaskan. 

“Bukan cacing mata kamu, mata kamu itu uda ada empat! Masa masih nggak bisa lihat?”. Jawab Anya marah.  “Tapi itu tadi memang bukan cacing!” Ucapku, coba menjelaskan.

“Ah, udalah, Kamu ikut aku cari tanaman saja!” 

Aku membututi Anya, dan sesampainya diparkiran ternyata kami sudah ditunggu oleh Radit, salah seorang member team Adiwiyata, “Lama banget sih Nya?” Tanya Radit 

“Nih Si Cupu, bikin ulah aja” Jawab Anya sambil menunjuk-nunjuk Aku, 

“Aku?” Aku kebinggungan. 

“Ini, cepetan! Kita ke tempat biasa.” Ucap Anya pada Radit, sambil memberikan kunci mobil 

“Lo kan tahu, kalau kaki gua baru sembuh, kalau ada apa-apa gimana? Yang lain aja deh Nya.” Tolak Radit. Sementara Aku mengangguk-angguk. 

  “Who? Dia?” sambil menunjukku. “Kau mau buat kita semua celaka? Lebih baik aku saja yang menyetir.” Jawab Anya ketus. 

“Tapi memang aku biasa nyetir kok” Ucapku lirih. 

Sesampainya ditoko langganan Anya, ternyata toko tanaman tersebut tutup.”Yah… kok tutup sih?” Guman Anya. 

“Aha… gimana kalau kita ke rumah Aku aja? Aku punya banyak tanaman bagus loh?” Usulku. 

“Yakin?” Anya meremehkan. 

“Apa salahnya sih Nya kalu dicoba” Sahut Radit. 

“Baiklah.” 

Mobil yang kita tumpangi sudah memasuki perumahan elite di timur kota. “Lo yakin ini jalannya?” 

“Ya iya lah Nya. Masa jalan rumahku sendiri aku lupa.” Aku menghempaskan nafas. “Stop! Kita sudah sampai.” Ucapku. 

“Yuk masuk kedalam. Parkir di sebelah taman aja biar gampang nanti.” Kita pun turun dari mobil dan berjalan menuju rumah kaca pribadiku. 

“Oh My God! Aku pikir selama ini kamu tinggal di jalanan.” Ucap Anya, meremehkan. 

“Apa?” Jawabku kaget. 

Setelah memilih beberapa tanaman, mobil pun kembali melesat menuju Madrasah. 

“Itu tanam disitu!” Ucap Anya pada salah seorang anggota lainnya. 

“Nya, apa yang bisa Aku lakukan?” Tanyaku 

“Em… Apa ya?” Anya berpikir sejenak.”Ah, Kamu siram tanaman aja ya!” 

“Ha? Ini kan musim penghujan?” Tanyaku. “Sekarang panas?” Lanjutku. 

“Memangnya kenapa kalau musim penghujan? Maka dari itu, sekarang panas. Dan tumbuhan-tumbuhan kita memerlukan air bukan?” Jawabnya santai. “Cepat laksanakan!” Ucapnya. 

Aku berpikir keras agar tidak menyiram tanaman-tanaman itu. Akhirnya aku menyalakan kran air dengan kecepatan penuh alhasil selang yang ku pegang malah mengendalikan diriku dan semuanya jadi berantakkan. Anya sangat marah besar kepadaku. Semua member yang bekerja terhenti karena melihatku. 

“Kenapa semua ini bisa terjadi?” Tanya Anya dengan nada marah. 

Aku hanya diam saja. 

Tak lama kemudian pengawas sekolah yang sedang berkeliling menghampiri kami.“Ada apa 

ini?” 

“Ini pak…” 

“Saya bisa jelaskan semua ini!” Sahutku. 

Aku pun menjelaskan apa yang sedang terjadi, dan inenjelaskan semua kejadian yang aku alami. “Sekarang musim penghujan. Sekarang panas, Itu berarti, maksudku, prediksiku nanti ada hujan deras, lagi pula BMKG juga memperkirakan akan ada hujan dengan intensitas deras. sementara tanaman ini belum cukup kuat untuk menampung air yang sangat banyak.” Ucapku tegas. 

Semuanya terdiam. 

“Dan untuk masalahhewan itu, itu bukan cacing, tapi itu lintah, memang mereka terlihat sama. Cacing punya tubuh yang lebih bulat, sementara lintah lebih gepeng. Dan lintah tersebut akan membahayakan member yang lain.” Lanjutku. 

Semenjak kejadian satu tahunlalau itu aku mendapat gelar member terbaik. Dan sekarang Aku di amanahi menjadi kapten team. Sekarang kalian semua bisa mengolok-olokku dengan sebutan kapten cupu tapi kalian pasti tidak akan bisa menolak keinginanku. 

“WOW!Ternyata ada yang tidak sabaran sekali ya?” Jawabku. Suasana menjadi hening kembali. “Saya punya beberapa peraturan yang harus kalian patuhi.” Aku menghempaskan nafas. “Pertama, kalian tidak boleh menolak perintah saya saat team Adiwiyata sedang bekerja. Kedua, tidak ada pertanyaan saat team Adiwiyata bekerja. Ketiga, setiap selesai bekerja semua member harus mengikuti evaluasi dan musyawarah di basecamp.” Ucapku mantap. 

Suasana menjadi sangat hening. Aku melihat arloji yang melilit pergelangan tanganku. “Baiklah saya tidak suka membuang-buang waktu. Tugas pertama kalian adalah mencari cacing, harus pas sembilanpuluh sembilan cacing.” Ucapku tegas. 

Suara samar-samar terdengar dari barisan didepanku yang mungkin sudah menganggapku tidak waras. “Dan waktu kalian adalah duapuluh empat jam dari sekarang” Ucapku. “Well, selamat bekerja!” 

“Mengapa harus sembilanpuluh sembilan?” Gadis yang tadi bertanya menyahut. 

“Pasti karena itu jumlah asmaul husna kan?” Jawab seseorang member lain. 

Oh My God! Bukan jawaban itu yang ku inginkan.” Aku menghempaskan nafas. “Aku kan sudah bilang kalau tidak ada pertanyaan sebelum tugas diselesaikan.!” Ucapku tegas. 

“Terima kasih atas waktu kalian. Sekarang kalian bisa kembali.” Barisan yang tadi rapi menghadapku sekejap sudah tidak ada, mereka berhamburan menjauh. Anya tiba-tiba membisikiku “Mengapa harus sembilanpuluh sembilan?” tanyanya bingung.

“Eh, itu hanya angka favoritku.” Ucapku santai sambil meninggalkan Anya. 

Satu Komentar pada “Kapten Cupu dan Tim Keren”

  1. Excellent post. I definitely appreciate this website. Thanks!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *