Lembah Pendiam

Jalanan ibukota terlihat menyesakkan seperti biasanya Macet, Pedagang asongan berlalu lalang gencar menjajakan dagangannya kepada para pengendara, para supir angkot yang dengan seenaknya memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan membuat ruang jalanan menjadi semakin sempit, serta udara panas yang membuat peluh setia bercucuran dileher. 

Tak henti-hentinya saya mengumpat dalam hati. Sejak dua jam yang lalu saya masih terjebak disini Baru berpindah sekitar duaratus meter dari tempat saya keluar tadi. 

Sudah tiga setengah tahun hidup disini tapi saya masih belum dapat beradaptasi dengan suasana di Jakarta. Kemacetan, polusi, dan keegoisan para penduduknya. Entahlah apakah saya masih betah tinggal disini lebih lama lagi. Kalau saja bukan karena Ayah yang dimutasi untuk menangani cabang perusahaannya, mana mau saya menghabiskan masa remaja disini. Lebih baik di rumah lama saya, Surabaya, atau rumah Aki (Kakek) yang berada di Bukittinggi. Lebih tenang dan bebas dari segala gangguan kemacetan, 

Berbicara tentang Bukittinggi, sudah lama saya tak berkunjung kesana. Terakhir kali mungkin saat hari raya satu tahun yang lalu. Saya memang jarang mengunjungi kediaman Aki, mungkin hanya saat liburan tertentu. Lebih sering saya berada di Surabaya-kota kelahiran saya. Ibu saya asli orang Jawa Timur sedangkan Ayah dari Sumatera Barat. Oleh sebab itu, saya lebih sering ke Surabaya karena mayoritas keluarga memang berada disana. Sedangkan di Bukitinggi, karena Ayah adalah anak tunggal maka disana hanya ada Aki. Nenek sudah meninggal saat saya masih kelas empat SD. 

Tapi meskipun begitu, saya sangat menyukai kota itu. Saya selalu menunggu momen untuk pergi ke Bukittinggi. Selain indah, disana saya juga bisa merasakan udara segar bebas polusi yang sulit saya temukan di Surabaya-apalagi Jakarta 

Maka keputusan saya adalah; untuk liburan kenaikan kelas minggu depan akan saya habiskan di rumah Aki. Saya sudah tidak sabar! 

Sore ini saya tengah duduk di teras rumah sambil membaca buku ditemani hujan gerimis diluar. Kondisinya memang hujan tapi hawanya masih panas, gerah Jakarta memang aneh. 

“Ta, bagaimana tadi ulangan hari terakhir-nya?” terdengar suara lembut Bunda menyusup di telinga saya. Membuat saya mendongak beralih menatapnya. 

“Alhamdulillah, Bun, lancar.” 

“Kata Raga, kamu liburan di Bukittinggi ya?”- Raga adalah adik saya. 

“Iya, Bun” 

“Bunda sebenarnya kepingin ikut ke rumah Aki kamu, tapi Raga sudah rayu-rayu Bunda buat diajak ke Bali Bunda jadi ndak tega.” 

“Tidak apa-apa. Bun. Bunda sama Raga saja. Saya sendiri bisa kok,” 

“Iya, iya, Bunda percaya sama kamu. Tapi kamu disana jangan buat onar lho ya, jangan buat repot Aki, bantu Aki kalau dia butuh bantuanmu, ja—”belum sempat Bunda menyelesaikan ucapannya, saya memotong, “Jangan sampai Aki marah karena tingkah lakumu.” 

“Tuh pinter. Sudah kamu siap-siap packing saja kalau gitu. Besok kita cari tiketnya.” 

“Siap. Bu Boss!” 

Hari ini adalah hari keberangkatan saya menuju rumah Aki. Dengan sangat antusias saya memasuki pesawat dan berharap penerbangan akan berjalan dengan lancar. 

Sesampainya di Bandara Internasional Minangkabau, Padang. Saya segera meneruskan perjalanan menuju Bukittinggi menggunakan mobil Butuh waktu sekitar dua setengah jam hingga saya tiba di rumah Aki. Di dalam mobil, saya memperhatikan pemandangan diluar, perkebunan teh yang luas, pohon-pohon tinggi nan lebat tampak berjejer rapi. Bahkan ini sudah jam sembilan, tapi kabut masih terlihat menyelubungi sekitar. Siulan burung terdengar merdu menenangkan pikiran. Udara segar mengisi kerongkongan. 

Seluas senyum saya ukir di bibir. Inilah yang membuat saya jatuh cinta dengan tempat ini. 

Tanpa terasa mobil sudah memasuki kawasan Kampung Sejajar. Tampak di depan rumahnya, Aki duduk menunggu saya sambil membaca koran 

“Asta! Akhirnya kau sampai juga.” ucap Aki mengurungkan niat saya yang hendak mengejutkannya. “Apo kaba kau, Nak?” 

“Alhamdulillah, Ki.” Saya memeluk Aki, “Aki, apa kabar?” 

“Alhamdulillah.” 

Kami lalu membahas beberapa hal lagi, hingga saya memutuskan untuk berjalan berkeliling. Menghirup udara segar 

Saya pergi ke Ngarai Sianok-keajaiban alam paling indah di Bukittinggi ini. Hanya butuh waktu satu jam menggunakan mobil, saya telah tiba di tempat. Beberapa penduduk lokal juga terlihat menghabiskan waktu sorenya disini.

Ngarai Sianok merupakan lembah curam yang dibawahnya mengalir anak sungai panjang berliku-liku, dan berlatar belakang Gunung Singgalang Lembah indah ini membentang sejauh 15 kilometer, dengan bukit paling tinggi berkisar antara 80-100 meter, dan jarak antara celah satu dengan yang lain adalah 200 meter. Sejauh mata memandang hanya terlibat warna hijau dan sedikit corak biru. Penduduk sini lebih sering menyebut lembah ini dengan nama “Lembah Pendiam’ karena suasananya yang sangat damai. 

Saat sibuk menikmati pemandangan indah Ngarai, tubuh saya mendadak ditabrak seseorang dari arah belakang. Saya terjatuh, tapi sang pelaku yang menabrak saya segera membantu saya untuk kembali bangkit berdiri 

“Maaf, maaf…” ucapnya. Remaja yang nampak seusia dengan saya ini terlihat terengah-engah. Namun, belum sempat saya berkata apa-apa, ia sudah kembali terlihat panik dan segera bersembunyi dibalik pohon besar sebelah kanan saya 

Selang beberapa detik kemudian, terlihat tiga orang Bapak-Bapak dengan wajah penuh emosi, berlari sambil membawa tongkat dan berseru-seru: “Woy! Dasar bocah kurang ajar, sembunyi dimana kau!” 

Saya yang tidak ingin terjatuh untuk kedua kali, segera menyingkir memberi mereka jalan. Ternyata mereka malah berhenti di hadapan saya. 

“Hei kau! Ada lihat bocah berlari kesini?” tanya seorang diantara mereka. 

Saya melirik anak itu sekilas dan mendapati ia tengah mengisyaratkan agar saya diam dan tidak memberitahu letak persembunyiannya, 

Baiklah kali ini saya akan membantu. 

“Kesana” jari telunjuk saya mengarah ke depan. 

Segera tanpa ucapan apapun, mereka kembali berlari dengan teriakan-teriakan yang semakin heboh. 

Anak itu keluar dan menghampiri saya, “Hai, terimakasih.” Lalu, mengulurkan tangan kanannya. “Namaku Oding. Ang?” 

“Saya Asta”

Tak butuh waktu lama untuk saya dapat menjadi akrab dengan Oding. Ia adalah anak yang ceria dan terbuka Oding berujar tentang alasan ia dikejar Bapak-bapak tadi adalah karena mereka-Bapak bapak—ingin merusak Ngarai ini dan di bangun menjadi pabrik kapur. Oding tidak terima, jadilah ia setiap hari mengunjungi proyek tersebut dan membuat suatu kericuhan kecil. Misalnya hari ini: Oding membuang seluruh alat-alat kerja kecil seperti cangkul, palu, linggis, dan lain-lain ke dalam jurang Namun penjaga proyek mengetahui perbuatannya dan segera ia dikejar oleh beberapa orang penjaga tersebut 

“Aku tidak mau melihat harta berharga Kota Bukittinggi ini dirusak oleh orang-orang itu. Ta Bagaimanapun tempat ini adalah taman bermainku sejak kecil. Ang lihat sendiri, indah sekali bukan? kelakar Oding penuh semangat. 

Saya setuju denga oding. sangat menyukai Ngarai ini, meskipun saya tidak tinggal di kota Bukit tinggi Saya telah jatuh cinta pada ‘Lembah Pendiam! 

Mulai hari itu, saya selalu menemani Oding untuk menyuarakan keadilan Ngarai. Banyak warga yang mulai bergabung dan ikut berpartisipasi mencegah pembangunan pabrik tersebut dilaksanakan Oding memimpin, menyalurkan seluruh semangatnya. Tapi sayang, waktu saya disini hanya dua minggu dan harus segera kembali ke Jakarta. Tanpa terlewatkan, saya berpamitan dengan Oding, Dia terlihat sedih. Meskipun kita berteman baru dua minggu, tapi itu sudah cukup untuk mengenal satu sama lain 

Di dalam perjalanan pulang, sambil melihat kerlap-kerlip lampu jalanan ibukota, saya memikirkan banyak hal yang telah saya dapatkan semasa di Bukittinggi. Melihat betapa gigihnya usaha Oding dalam mempertahankan keindahan alam leluhurnya, membuat saya tersadar bahwa saya ingin mengubah suasana kota tempat tinggal saya ini. Memang tidak mungkin untuk secara instan langsung berubah, dan tidak bisa seluruhnya. Tapi perlahan dan berangsur saya akan berusaha 

Perlahan, Dimulai dari menghilangkan persepsi buruk saya tentang kota ini, saya akan belajar untuk mencintai kota Jakarta 

Sekilas Tentang Pengarang

Nama lengkap saya adalah Sekar Kirana Damavanti dan biasa dipanggil Sekar. Lahir di Mojokerto 12 November tahun 2000. Merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Tercantum secara resmi sebagai pelajar kelas sebelas di Madrasah Aliyah Negeri Mojosari. Menulis merupakan hobi ketiga saya, setelah membaca dan mendengarkan musik. Penulis paling inspiratif bagi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *