Peduli

Hari ini merupakan hari pertama libur semester. Zilmi, salah seorang siswa sekolah menengah atas juga tengah menikmati masa liburnya. Karena ia merasa bosan berada di rumah, ia pun memutuskan untuk menghabiskan hari liburnya kali ini dengan mengunjungi rumah kakeknya yang berada di luar kota. Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan lamanya untuk sampai di kota itu. Sesampainya disana, ia mengedarkan pandangnya untuk sekedar melihat situasi sekeliling rumah kakeknya itu. Di daerah itu memang tak tampak seperti kota besar yang identik dengan segala macam polusinya. Walaupun tak begitu asri, setidaknya kota itu lebih bersih daripada kota yang selama ini menjadi tempat tinggalnya.

Setelah memarkirkan sepeda motor di halaman rumah kakeknya, ia sengaja tak langsung menemui kakeknya yang masih ada di dalam rumah. Ia memilih untuk sekedar berkeliling ke penjuru kota kecil itu. Tak lupa pula ia membawa kamera SLR untuk mengabadikan segala aktifitasnya kali ini. Tak terasa ternyata ia sudah melangkahkan kakinya sekitar satu kilometer dari rumah kakeknya. Ia tak henti-hentinya mencari objek untuk diabadikan. Saat matanya berkeliling untuk mencari objek untuk dipotret, tiba-tiba ada satu pemandangan yang menarik perhatiannya Sorot matanya terfokus pada segerombolan anak kecil yang usianya sekitar lima tahun dibawah usia Zilmi sekarang.

Anak-anak itu tampak sedang asik berjalan sambil membawa kantong bibit tanaman. Hal itu membuat Zilmi penasaran. Dia pun mengarahkan fokus lensa kameranya kepada anak-anak itu dan mengambil gambarya Lalu ia menangkap sosok perempuan yang berada diantara mereka. Karena Zilmi mempunyai rasa penasaran yang tinggi, akhirnya ia pun langsung mendekati mereka. Saat Zilmi baru saja mendekat ke arah mereka, sang perempuan yang awalnya berada di antara anak-anak itu pun langsung berjalan menghampiri Zilmi. 

“Maaf, apakah anda seorang wartawan atau hanya sekedar pengunjung?” tanya wanita itu 

dengan sopan. 

“Hai, saya Zilmi. Kebetulan saja saya lewat sini. Saya juga bukan seorang wartawan, saya hanya mengunjungi kakek saya yang tinggal disini.” 

“Oh maaf, saya kira anda wartawan, karena dari kemarin ada saja wartawan yang datang. 

Terlebih lagi sedari tadi anda mengamati dan mengambil gambar anak-anak ini.*** 

“Maaf jika tindakanku kurang sopan karena mengambil gambar tanpa izin, kamu juga jangan terlalu formal, mungkin kita seumuran.”* Zilmi mencoba mencairkan susana tegang diantara mereka dengan berbicara santai. 

“Oh iya, aku belum memperkenalkan diri ya? Namaku Renata Andieni. Panggil saja aku Rena,” ujarnya sambil mengulurkan tangannya dengan sopan. 

**Namaku Zilmi, memangnya kenapa para wartawan kesini?” 

“Mereka pasti akan mempertanyakan tentang lahan kosong milik pemerintah itu.” 

“Memangnya kenapa dengan lahan kosong milik pemerintah itu?” 

“Ada orang yang ingin membeli lahan tersebut untuk kepentingan industri, tapi kami selaku relawan pecinta alam sangat menentang hal itu, kama sejak awal lahan tersebutakan dibuat taman hijau, bukan yang lain. Jadi kami tak akan membiarkan oknum itu untuk membangun industri di 

wilayah ini begitu saja. Jadi apa nantinya kota kecil ini jika industri terus – menerus berkembang di 

daerah ini? Bisa-bisa kota ini akan dikenal orang sebagai sarang polusi, bukan kota yang asri lagi.” 

“Kau benar sekali, tapi apa yang kau lakukan disini? Memperjuangkan lahan ini seorang diri? Kau tidak takut? Terlebih lagi kau seorang wanita.” 

“Kenapa aku harus takut? Lagi pula yang kulakukan saat ini adalah hal yang benar. Dan aku pun tak sendirian. Masih ada banyak relawan lain yang mendukung aksiku kali ini.” 

“Relawan? Apa teman-teman relawanmu hanya mereka?” tanyanya sambil melirik ke arah anak-anak yang sibuk membawa bibit-bibit tanaman yang akan meroka tanam di lahan kosong 

itu. 

“Masih ada yang lain, sebagian dari mereka mungkin sekarang sedang bersantai di pondok.” 

**Pondok?” 

“Maksudku pondok untuk relawan pecinta alam, pondok kami berada tak jauh dari sini.” 

“Apakah kau tidak keberatan jika aku berkunjung ke pondok itu?” 

*Boleh saja, kenapa tidak? Teman-teman relawan yang lain pasti suka jika kedatangan tamu. Ayo.” 

Mereka pun berjalan beriringan menuju pondok relawan itu. Jarak antara lahan tadi dengan pondok tak terlalu jauh. Hanya butuh beberapa menit untuk sampai disana. Benar kata Rena, disana memang ada banyak relawan. Bukan hanya anak – anak kecil tadi, namun ada juga yang seumuran dengan Rena, bahkan ada juga yang lebih dewasa daripada mereka. Ketika mereka menginjakkan kaki di ruang utama pondok, ada seorang lelaki yang menghampiri mereka. 

“Siapa yang kau bawa kali ini Ren?” tanya lelaki jakung itu kepada Rena. 

“Dia hanya seorang warga disini, dia ingin mengerti tentang kehidupan relawan disini.” 

“Oh, perkenalkan nama saya Gio selaku ketua relawan disini.” lelaki jakung bernama Gio itu pun langsung mengulurkan tangannya kepada Zilmi 

“Ya, saya Zilmi. Bolehkah saya meminta waktu anda sebentar? Karna saya sangat ingin mengajukan pertanyaan kepada anda tentang lingkungan di sekitar sini.” 

“Boleh saja, sebaiknya kita membicarakan hal itu sambil berjalan-jalan di sekitar sini.” 

“Baiklah.” 

Mereka berdua pun berjalan menyusuri jalan-jalan kecil di daerah itu. 

**Apa saja yang kalian lakukan selama ini sebagai relawan?”” kini Zilmi mulai angkat bicara. 

“Kami hanya melakukan apa yang harusnya kami lakukan. Berusaha memberikan apa yang terbaik untuk alam, agar berimbas baik pula pada kehidupan kita. Karna hubungan timbal – balik antara kita dan alam sangatlah penting.” 

“Selain mengurus masalah lahan tadi, kegiatan apa saja yang biasa kalian lakukan?” 

“Seperti saat ini, mungkin kami tiin relawan pecinta alam akan berjalan-jalan berkeliling kota dan melihat apakah ada yang harus kami perbaiki. Sebagai contoh sederhana adalah sampah plastik ini, memang terlihat seperti hal yang sepele jika kita melihat satu sampah plastik ada di jalan. Namun jika tidak segera kita ambil, maka hal itu akan menarik warga lain untuk ikut-ikutan membuang sampah di jalan. Padahal kan jika kita membiarkannya akan membuat dampak yang lain juga,” ujarnya sambil memungut sampah plastik yang ada dihadapannya dan membuangnya ke tempat sampah 

“Banjir misalnya?” 

“Terlalu jauh jika kita membicarakan banjir, karna satu sampah plastik saja memang takkan membuat daerah ini banjir. Namun jika musim hujan seperti saat ini, sampah plastik juga bisa membahayakan para pengguna jalan. Terlebih lagi jika kondisi jalan licin, pasti pengguna jalan akan mudah terpeleset jika kaki mereka menginjak sampah plastik itu tadi.” 

“Kau benar, mengapa aku seakan-akan baru mengerti hal itu sekarang ya? 

“Memang hal-hal kecil sepeti itu sering kali diabaikan begitu saja.” 

“Boleh aku bertanya kenapa kau menjadi relawan seperti saat ini? Jarang sekali ada orang muda sepertimu yang melakukan hal ini. Seperti aku contohnya.” 

**Alasanku satu, karena aku peduli. Ketika aku meyakinkan pada diriku sendiri jika aku peduli, maka aku akan mempertanggungjawabkan akan kepedulianku.” 

Setelah bercerita panjang lebar mengenai lingkungan sekitar sini, matahari yang kembali ke tempat peraduannya pun memisahkan mereka. Melihat langit yang mulai gelap, Zilmi pun pamit pulang kepada seluruh relawan yang berada di pondok itu. Akhirnya Zilmi melangkahkan kakinya menuju rumah kakeknya. Ia sedikit kecewa melihat halaman depan rumah kakeknya itu banyak sampah yang berserakan. Ini mungkin disebabkan karena kakeknya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya di dalam rumah, hingga tak sempat mengurusi halaman rumahnya sendiri. Dengan gerak cepat Zilmi pun mengambil sapu dan mulai membersihkan halaman depan rumah kakeknya Semenjak pertemuannya dengan para relawan tadi pagi membuatnya semakin sadar betapa pentingnya menjaga lingkungan. Terlebih lagi melakukan hal-hal positif untuk lingkungan Karena dengan itu lingkungan juga akan memberikan dampak positif bagi kelangsungan hidup kita. 

-Tamat-

Profil penulis.

Nama lengkapku Nadya Miftakhur Rokhma, biasa dipanggil Nadi oleh teman-teman sekelasku. Aku lahir pada 24 September 2001. Aku sekarang duduk di bangku kelas sepuluh jurusan bahasa. Aku bertempat tinggal di Dsn. Londen, Ds. Seduri, Kec. Mojosari, Kab. Mojokerto. Hobiku membaca karangan bebas dan mendengarkan musik dengan alunan yang lembut dan menenangkan. Cita-citaku menjadi seorang desainer fashion dan interior. Untuk pekerjaan sampingan nantinya aku ingin menjadi seorang penulis novel. Motto hidupku ialah

Jangan pernah menyerah, karena jerih payah takkan pernah mengkhianati hasilnya nanti. Never give up!”

Hari ini merupakan hari pertama libur semester. Zilmi, salah seorang siswa sekolah menengah atas juga tengah menikmati masa liburnya. Karena ia merasa bosan berada di rumah, ia pun memutuskan untuk menghabiskan hari liburnya kali ini dengan mengunjungi rumah kakeknya yang berada di luar kota. Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan lamanya untuk sampai di kota itu. Sesampainya disana, ia mengedarkan pandangnya untuk sekedar melihat situasi sekeliling rumah kakeknya itu. Di daerah itu memang tak tampak seperti kota besar yang identik dengan segala macam polusinya. Walaupun tak begitu asri, setidaknya kota itu lebih bersih daripada kota yang selama ini menjadi tempat tinggalnya.

Setelah memarkirkan sepeda motor di halaman rumah kakeknya, ia sengaja tak langsung menemui kakeknya yang masih ada di dalam rumah. Ia memilih untuk sekedar berkeliling ke penjuru kota kecil itu. Tak lupa pula ia membawa kamera SLR untuk mengabadikan segala aktifitasnya kali ini. Tak terasa ternyata ia sudah melangkahkan kakinya sekitar satu kilometer dari rumah kakeknya. Ia tak henti-hentinya mencari objek untuk diabadikan. Saat matanya berkeliling untuk mencari objek untuk dipotret, tiba-tiba ada satu pemandangan yang menarik perhatiannya Sorot matanya terfokus pada segerombolan anak kecil yang usianya sekitar lima tahun dibawah usia Zilmi sekarang.

Anak-anak itu tampak sedang asik berjalan sambil membawa kantong bibit tanaman. Hal itu membuat Zilmi penasaran. Dia pun mengarahkan fokus lensa kameranya kepada anak-anak itu dan mengambil gambarya Lalu ia menangkap sosok perempuan yang berada diantara mereka. Karena Zilmi mempunyai rasa penasaran yang tinggi, akhirnya ia pun langsung mendekati mereka. Saat Zilmi baru saja mendekat ke arah mereka, sang perempuan yang awalnya berada di antara anak-anak itu pun langsung berjalan menghampiri Zilmi. 

“Maaf, apakah anda seorang wartawan atau hanya sekedar pengunjung?” tanya wanita itu 

dengan sopan. 

“Hai, saya Zilmi. Kebetulan saja saya lewat sini. Saya juga bukan seorang wartawan, saya hanya mengunjungi kakek saya yang tinggal disini.” 

“Oh maaf, saya kira anda wartawan, karena dari kemarin ada saja wartawan yang datang. 

Terlebih lagi sedari tadi anda mengamati dan mengambil gambar anak-anak ini.*** 

“Maaf jika tindakanku kurang sopan karena mengambil gambar tanpa izin, kamu juga jangan terlalu formal, mungkin kita seumuran.”* Zilmi mencoba mencairkan susana tegang diantara mereka dengan berbicara santai. 

“Oh iya, aku belum memperkenalkan diri ya? Namaku Renata Andieni. Panggil saja aku Rena,” ujarnya sambil mengulurkan tangannya dengan sopan. 

**Namaku Zilmi, memangnya kenapa para wartawan kesini?” 

“Mereka pasti akan mempertanyakan tentang lahan kosong milik pemerintah itu.” 

“Memangnya kenapa dengan lahan kosong milik pemerintah itu?” 

“Ada orang yang ingin membeli lahan tersebut untuk kepentingan industri, tapi kami selaku relawan pecinta alam sangat menentang hal itu, kama sejak awal lahan tersebutakan dibuat taman hijau, bukan yang lain. Jadi kami tak akan membiarkan oknum itu untuk membangun industri di 

wilayah ini begitu saja. Jadi apa nantinya kota kecil ini jika industri terus – menerus berkembang di 

daerah ini? Bisa-bisa kota ini akan dikenal orang sebagai sarang polusi, bukan kota yang asri lagi.” 

“Kau benar sekali, tapi apa yang kau lakukan disini? Memperjuangkan lahan ini seorang diri? Kau tidak takut? Terlebih lagi kau seorang wanita.” 

“Kenapa aku harus takut? Lagi pula yang kulakukan saat ini adalah hal yang benar. Dan aku pun tak sendirian. Masih ada banyak relawan lain yang mendukung aksiku kali ini.” 

“Relawan? Apa teman-teman relawanmu hanya mereka?” tanyanya sambil melirik ke arah anak-anak yang sibuk membawa bibit-bibit tanaman yang akan meroka tanam di lahan kosong 

itu. 

“Masih ada yang lain, sebagian dari mereka mungkin sekarang sedang bersantai di pondok.” 

**Pondok?” 

“Maksudku pondok untuk relawan pecinta alam, pondok kami berada tak jauh dari sini.” 

“Apakah kau tidak keberatan jika aku berkunjung ke pondok itu?” 

*Boleh saja, kenapa tidak? Teman-teman relawan yang lain pasti suka jika kedatangan tamu. Ayo.” 

Mereka pun berjalan beriringan menuju pondok relawan itu. Jarak antara lahan tadi dengan pondok tak terlalu jauh. Hanya butuh beberapa menit untuk sampai disana. Benar kata Rena, disana memang ada banyak relawan. Bukan hanya anak – anak kecil tadi, namun ada juga yang seumuran dengan Rena, bahkan ada juga yang lebih dewasa daripada mereka. Ketika mereka menginjakkan kaki di ruang utama pondok, ada seorang lelaki yang menghampiri mereka. 

“Siapa yang kau bawa kali ini Ren?” tanya lelaki jakung itu kepada Rena. 

“Dia hanya seorang warga disini, dia ingin mengerti tentang kehidupan relawan disini.” 

“Oh, perkenalkan nama saya Gio selaku ketua relawan disini.” lelaki jakung bernama Gio itu pun langsung mengulurkan tangannya kepada Zilmi 

“Ya, saya Zilmi. Bolehkah saya meminta waktu anda sebentar? Karna saya sangat ingin mengajukan pertanyaan kepada anda tentang lingkungan di sekitar sini.” 

“Boleh saja, sebaiknya kita membicarakan hal itu sambil berjalan-jalan di sekitar sini.” 

“Baiklah.” 

Mereka berdua pun berjalan menyusuri jalan-jalan kecil di daerah itu. 

**Apa saja yang kalian lakukan selama ini sebagai relawan?”” kini Zilmi mulai angkat bicara. 

“Kami hanya melakukan apa yang harusnya kami lakukan. Berusaha memberikan apa yang terbaik untuk alam, agar berimbas baik pula pada kehidupan kita. Karna hubungan timbal – balik antara kita dan alam sangatlah penting.” 

“Selain mengurus masalah lahan tadi, kegiatan apa saja yang biasa kalian lakukan?” 

“Seperti saat ini, mungkin kami tiin relawan pecinta alam akan berjalan-jalan berkeliling kota dan melihat apakah ada yang harus kami perbaiki. Sebagai contoh sederhana adalah sampah plastik ini, memang terlihat seperti hal yang sepele jika kita melihat satu sampah plastik ada di jalan. Namun jika tidak segera kita ambil, maka hal itu akan menarik warga lain untuk ikut-ikutan membuang sampah di jalan. Padahal kan jika kita membiarkannya akan membuat dampak yang lain juga,” ujarnya sambil memungut sampah plastik yang ada dihadapannya dan membuangnya ke tempat sampah 

“Banjir misalnya?” 

“Terlalu jauh jika kita membicarakan banjir, karna satu sampah plastik saja memang takkan membuat daerah ini banjir. Namun jika musim hujan seperti saat ini, sampah plastik juga bisa membahayakan para pengguna jalan. Terlebih lagi jika kondisi jalan licin, pasti pengguna jalan akan mudah terpeleset jika kaki mereka menginjak sampah plastik itu tadi.” 

“Kau benar, mengapa aku seakan-akan baru mengerti hal itu sekarang ya? 

“Memang hal-hal kecil sepeti itu sering kali diabaikan begitu saja.” 

“Boleh aku bertanya kenapa kau menjadi relawan seperti saat ini? Jarang sekali ada orang muda sepertimu yang melakukan hal ini. Seperti aku contohnya.” 

**Alasanku satu, karena aku peduli. Ketika aku meyakinkan pada diriku sendiri jika aku peduli, maka aku akan mempertanggungjawabkan akan kepedulianku.” 

Setelah bercerita panjang lebar mengenai lingkungan sekitar sini, matahari yang kembali ke tempat peraduannya pun memisahkan mereka. Melihat langit yang mulai gelap, Zilmi pun pamit pulang kepada seluruh relawan yang berada di pondok itu. Akhirnya Zilmi melangkahkan kakinya menuju rumah kakeknya. Ia sedikit kecewa melihat halaman depan rumah kakeknya itu banyak sampah yang berserakan. Ini mungkin disebabkan karena kakeknya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya di dalam rumah, hingga tak sempat mengurusi halaman rumahnya sendiri. Dengan gerak cepat Zilmi pun mengambil sapu dan mulai membersihkan halaman depan rumah kakeknya Semenjak pertemuannya dengan para relawan tadi pagi membuatnya semakin sadar betapa pentingnya menjaga lingkungan. Terlebih lagi melakukan hal-hal positif untuk lingkungan Karena dengan itu lingkungan juga akan memberikan dampak positif bagi kelangsungan hidup kita. 

-Tamat-

Profil penulis.

Nama lengkapku Nadya Miftakhur Rokhma, biasa dipanggil Nadi oleh teman-teman sekelasku. Aku lahir pada 24 September 2001. Aku sekarang duduk di bangku kelas sepuluh jurusan bahasa. Aku bertempat tinggal di Dsn. Londen, Ds. Seduri, Kec. Mojosari, Kab. Mojokerto. Hobiku membaca karangan bebas dan mendengarkan musik dengan alunan yang lembut dan menenangkan. Cita-citaku menjadi seorang desainer fashion dan interior. Untuk pekerjaan sampingan nantinya aku ingin menjadi seorang penulis novel. Motto hidupku ialah

Jangan pernah menyerah, karena jerih payah takkan pernah mengkhianati hasilnya nanti. Never give up!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *