CINTAKU UNTUK ALAM DARI NENEK

“Maaf nek, aku gagal..”ucapku disela tangis. Kakek mengelus kepalaku, “ini bukan salahmu Ran, ini salah Kakek” ucapnya mencoba menghibur. “Kalau saja ada orang seperti kakek yang menghentikan mereka… ” sambungku. “Ran…”kakek menyela, “Padahal Ran ingin jadi seperti nenek, tapi..” ucapanku terhenti, kembali terisak. “Ran, gagal sekali bukan alasan yang tepat buatmu berhenti berusaha, tidakkah nenekmu sedih bila melihatmu seperti ini?” ucap kakek. Dengan sedikit memaksa aku mencoba berhenti menangis. “Ayo jalan jalan sebentar” ajak kakek. Aku mengangguk setuju dan kami pun meninggalkan pusara nenek 

Kami berjalan jaln sebentar mengendarai mobil mengelilingi kota. Sekalipun kakek berbicara seperti itu, tetap saja masih ada rasa kesal dan menyesal. Andai saja ada lebih banyak hal yang bisa kulakukan untuk membuat nenck senang. Pandanganku beredar menyusuri seluk beluk kota. Kota ini membosankan. “Ran…. biar kutunjukkan padamu tempat kesukaan nenekmu.” Ucap kakek. Kami berhenti, dia memintaku untuk keluar mobil. Kami berhenti di depan taman kota. Aku menatap kakekku sebentar, ia tersenyum. Kakek menarik lenganku untuk masuk, di dalam taman terdapat beberapa orang yang berkumpul, terligat seperri sedang melakukan sesuatu bersama. 

“Ini adalah kelompok kecil pecinta lingkungan, nenekmu yang membuatnya, Kakek rasa, ada banyak hal yang bisa kamu perbuat untuk membuatnya senang,” ucap kakek. Aku tersenyum, kurasa kota ini, bukanlah kota yang membosankan. “Terimakasih kek!” 

Pagi ini pagi pertama liburan di rumah kakek. Dalam berbagai kisah dan lagu, dapat dibayangkan sendiri akan seperti apa pemandangannya, Sawah dan sungai dikanan kiri, hutan dan kebun dibelakang rumah, nuansa alam yang dominan dengan warna hijau, Sayangnya, terkadang “ekspektasi’ tak sesuai dengan ‘realita’ Suara bising bukan kokok ayam yang membangunkan tubuh lelap. Asap pabrik dan kendaraan bukan udara sejuk pagi yang dihirup Hiruk pikuk daerah metropolitan yang membuat sesak. Ya, rumah kakekku bukanlah rumah sederhana yang asri di pedesaan, melainkan rumah besar membosankan yang berada di tengah kota. 

“Ran! makanlah dulu sarapanmu ini” teriak kakek membuyarkan lamunanku. “Iya Kek!” Balasku seraya berjalan mendekat ke meja makan di dapur. Berbagai peralatan dan makanan tersaji, Kakekku sudah terbiasa menjalankan tugas rumah tangga seorang diri. Di rumah besar ini, kakekku “Tn. Hartono” panggilannya, tinggal seorang diri. Anaknya semata wayang yang adalah ibuku sudah menikah dan sibuk bekerja. Istrinya yang menjadi sahabat dan penuntunnya telah meninggal enam tahun yang lalu. Meski begitu, kakekku tak kehilangan semangat dan tetap menjalani hidup dengan bahagia sendiri. Aku selalu kagum padanya, 

Pagi ini, aku berjalan keluar, memandang jalan yang mulai ramai di depan rumah. Langkahku tak terhenti. Aku memutari rumah dan sampai di halaman belakang, menikmati sebuah pemandangan langka dalam sesaknya kota besar. Seperti 2 dunia yang dipaksa untuk masuk dalam satu bingkai, Langkahku terhenti di hadapan pohon besar di tengah hamparan rumput hijau yang luas. 

Aku tertegun. “Ini…” “itu pohon kesayangan nenekmu” ucap kakek di belakangku. “Nenekmu sangat menyukai lingkungan, tadinya ada banyak tumbuhan obat yang ia tanam di sini, tapi…” kalimat kakek terputus. “Tapi kakek terpaksa menjual tanah ini pada tetangga, semuanya dicabut, dan tak ada lagi yang tersisa, kakek sudah merasa sangat bersyukur pohon ini tidak ditebang” aku menatap pohon ini dengan sedih dan berbisik “nenek…” 

“Kakek sangat menyesal hari itu, kakek datang ke makamnya sambil menangis meminta maaf” ucap kakek sembari duduk bersandar di pohon yang kemudian kuikuti. Kakek bercerita, “nenekmu itu… sangat mencitai alam, ia lahir dan besar di dalam hutan Kakek masih ingat saat pertama kali bertemu dengannya. Dia sangat berani dan sedikit egois tapi bagaimanapun tak dapat menutupi rasa cintanya pada alam” 

“Hentikan 1” Teriak gadis itu seraya membelakangi pohon dan membentangkan tangannya. “Pohon ini adalah rumah bagi banyak mahluk, jadi jangan tebang pohon ini!” Ucapnya pada banyak orang dihadapannya. Matanya beredar penuh kebencian Seorang pria dengan mesin gergaji di tangannya membalas. “Punya hak apa kamu atas tanah ini? Menyingkirlah atau kupanggilkan orang tuamu!” “Ada apa ini?” Ucap seorang pria berpakaian rapi menyela. Gadis itu berlari dengan menahan tangis menghampiri pria itu seraya memohon. “Tolong, jangan tebang pohon ini….Pohon ini adalah bagian dari hidupku di masa kecil… Setelah semua pohon di hutan ini kau tebang, setidaknya biarkan satu pohon ini tetap hidup…” pria itu memalingkan wajahnya ke arah para penebang pohon. “Dengar! Dia adalah satu dari penduduk asli daerah ini, kita harus menghormati keinginan mereka dan bekerjasama, jadi tinggalkan pohon ini dan lakukan pekerjaan lain.'” Teriaknya. Semua berhenti dan berbalik, mereka meninggalkan pohon besar itu tanpa bantahan Gadis itu tertegun. “Siapa anda sebenarnya” Gadis itu bertanya, “Nama saya Hartono, bisa dibilang saya adalah atasan mereka, Saya tidak bisa menghentikan begitu saja pekerjaan mereka dan berhenti menebang. Tapi setidaknya, pohon ini akan aman.” Jelasnya dengan lembut. “Terimakasih tuan” ucap gadis itu sembari menitihkan air mata haru. “Senang bisa membantumu nona”.

“Setelah itu, kami semakin sering bertemu. Saling menceritakan diri masing masing dan mendekatkan diri hingga tak lama kemudian kakek meminangnya dan ia jadi nenekmu…” ucap kakek mengakhiri cerita. “Nenek berani sekali.. aku harap aku bisa jadi seperti dia…” Ucapku. “Kakek yakin kamu bisa jadi lebih berani dari nenek…” ucap kakek sembari mengelus kepalaku lembut. Aku tersenyum, dan berbisik “Ya, semoga saja” 

Malam ini, hujan turun dengan begitu lebat, angin dan gemuruh petir pun ikut serta dalam pawainya, membuat malam ini terasa begitu mencekam, Dalm diam aku berdo’a semoga tak terjadi hal buruk dalm benruk apapun yang akan datang. Tapi nyatanya, takdir tak berpihak pada kami, Pohon besar kesayangan nenek, pohon yang selalu dirawat dengan baik oleh nenek mengganggu pemilik tanah. Mulanya mereka setuju setuju saja atas permintaan kakek untuk tidak menebang pohon itu. Namun, setelah patahnya ranting pohon yang kemudian jatuh dan merusak atap pemilik tanah, pemilik tanah tak lagi mendengar. Mereka berniat menyelesaikan masalah secara tuntas dengan menebang pohon itu. Selang beberapa hari, mereka datang. Para pria penebang pohon datang dengan segala peralatari yang dibawa. Mereka berkumpul dan bersiap menebang pohon namun, 

“Hentikan !” Teriakku seraya membelakangi pohon dan membentangkan tangan. “Pohon ini adalah rumah bagi banyak mahluk, jadi jangan tebang pohon ini!”Ucapku pada banyak orang dihadapanku. Mataku beredar menatap mereka penuh kebencian. Seorang pria dengan mesin gergaji di tangannya membalas. “Punya hak apa kamu atas tanah ini? Menyingkirlah atau kupanggilkan orang tuamu!” “Ada apa ini?” Ucap seorang pria berpakaian rapi menyela. Dengan menahan tangis aku menghampiri pria itu seraya memohon. “Tolong, jangan tebang pohon ini,…Pohon ini adalah bagian dari hidup nenek dan kakekku … Setelah semua tumbuhan nenek kau cabut, setidaknya biarkan pohon ini tetap hidup…” pria itu mengernyitkan alisnya. “Kau pikir kau siapa berani melarang perbuatanku!” Teriaknya mengejutkanku, sekalipun aku tahu hal seperti ini akan terjadi. 

“Tunggul Maaf tuan, cucuku sangat menyayangi neneknya, sedangkan neneknya sangat mencintai pohon ini, itulah mengapa dia kesal maafkan dia, silahkan lanjutkan pekerjaan tuan.” Ucap kakek “Ayo Rani” ucap kakek sembari menarik tanganku memintaku masuk rumah. Dengan menahan amarah dan tangis aku meninggalkan tempat itu. Kami duduk di ruang tengah, kakekku mengelus kepalaku. “Rani, terimakasih telah berusaha, tapi itu tidak mungkin Ran, andai nenekmu tahu pasti akan sangat senang melihatmu, Kakek dan Nenek sangat bangga memiliki kamu Ran…” 

PROFIL DATA

Nama : Etna Liafitroh Falabibah 

Kelas : MIPA Program 4 Semester, Semester 2 

TTL : MOJOKERTO, 7 Desember 2001 

Alamat : Jl. Brawijaya No. 147 Dsn. Ketok Ds. TunggalPager 

BIOGRAFI

Nama saya Etna Liafitroh Falabibah. Usia saya 15 tahun saat mengikuti lomba menulis cerpen ini. Sebenarnya, saya memiliki banyak hobi. Menggambar, menyanyi mendengar musik dan menulis adalah beberapa contohnya, 

Saya mulai tertarik untuk menulis sejak jenjang Sekolah Dasar, kelas 5 SD lebih tepatnya. Saat itu saya menulis cerpen untuk memenuhi tugas. Saya mendapat respon yang baik dari guru bahasa indonesia saya. Beliau meminta saya untuk terus mengembangkannya. 

jenjang Sekolah Menengah Pertama, adalah masa dimana saya sangat tertarik untuk membaca dan menulis novel. Dan saya pun mulai untuk menulis sebuah cerita di aplikasi online yang menyediakan fasilitas membaca dan menulis gratis saat kelas 9. Namun, tak lama kemudian, saya berhenti menulis karena ingin fokus belajar untuk ujian. Selain itu, saya mendapat respon yang kurang baik dari pembaca. Akhirnya saya kehilangan semangat untuk membaca dan menulis. 

Namun di tahun pertama SMA ini, guru bahasa Indonesia di kelas saya memberi saran untuk membaca setiap hari agar tak kesulitan saat ada tugas menulis. Sehingga secara tidak langsung, saya mencoba merutinkan membaca setiap hari. Semangat membaca dan meulis saya pun kembali. Dan akhirnya pada kesempatan yang diberikan sekolah, saya mengikuti lomba cerpen dengan tema SEMI ini. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *